Revolusi industri 4.0. alias Indutrial Revolutional 4.0 Topik ini menjadi perbincangan hangat oleh berbagai pihak. Mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil. Namun sebelum mengenal lebih jauh apa itu Revolusi industri 4.0, mari pahami dahulu pengertian Revolusi Industri.
Pada World Economic Forum 2019, Schwab mengenalkan istilah ini pertama kalinya. Ia menjelaskan kepada publik bahwa saat ini, batas antara fisik, digital, dan biologis sudah kabur. Revolusi industri keempat ia jelaskan sebagai bagaimana teknologi seperti AI, kendaraan, dan koneksi internet saling mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga, pola kehidupan masyarakat akan berubah lebih maju dari sebelumnya.
Revolusi industri akan mengubah setiap sendi kegiatan di dunia. Masyarakat akan memliki pola pemikiran yang berbeda dengan sebelumnya. Pekerjaan menjadi efisien dan dapat memproduksi produk lebih banyak, bahkan jauh lebih banyak dari sebelumnya.
Lalu, bagaimana dengan revolusi industri sebelum-sebelumnya? Saya jelaskan sedikit revolusi industri sebelum saat ini. Revolusi Industri pertama yakni pada abad ke 18, tepatnya pada tahun 1764 yang ditandai dengan ada mesin uap dan manufaktur. Tentu pada saat itu kegiatan industri di Inggris menjadi jauh lebih efisisen. Lalu, hal ini meluas ke eropa. Sehingga mengapa Inggris dan eropa saat ini sangat maju karena menjadi titik awal indutri di dunia.
Revolusi Industri kedua terjadi pada abad ke 19 tepatnya pada tahun 1870, ditandai dengan adanya penemuan baru yaitu cahya dan energi listrik. Revolusi Industri ketiga pada abad 20 dengan perangkat komputasi sebagai penemuannya di Amerika. Dan saat ini, revolusi industri keempat pada tahun 2016 dengan perkembangan teknologi informasi dan komunika yang jauh lebih masif dan digunakan dalam berbagai kegiatan produksi.
Revolusi industri 4.0 ini sejatinya adalah perkembangan lebih lanjut dari revolusi industri ketiga. Saat ini sebenarnya juga berbicara mengenai teknologi, namun ini merujuk pada teknologi digital yang mana kita bisa rasakan sendiri teknolgi saat ini berkembang pesat dan internet adalah segalanya.
Tentu perkembangan ini membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Baik itu dampak postif, maupun dampak negatif. Positifnya kita dapat melakukan berbagai kegiatan dengan lebih efisien, negatifnya mungkin akan banyak pekerjaan yang akan tergantikan oleh teknologi baik AI maupun robot sehingga banyak pekerjaan hilang.
Saat ini saja beberapa perusahaan besar di dunia sudah menggunakan tenaga robot untuk melakukan produksinya. Perusahaan tersebut diantaranya Adidas, Tesla, Uber, amazon, Nestle, dan Suzuki. Pekerjaan yang sifatnya rrepetitif sudah mereka gantikan dengan robot, sehingga mereka tidak lagi menggukan manusia. Ini tentu karena penggunaan robot dalam bidang pekerjaan tersebut jelas lebih menguntungkan bagi perusahaan mereka.
Contoh lainnya adalah perkembangan e-commerce yang sangat pesat. Dahulu, kegiatan jual-beli hanya dilakukan secara langsung. Namun, siapa sangka. Saat ini, tren e-commerce berkembang pesat. Manusia dengan mudahnya memilih barang mereka di situs e-commerce dan membayarnya dengan instan dan hanya bersantai di rumah barang tiba.
Lalu ada lagi perkembangan yang sangat pesat nanti saat era Revolusi Industri 4.0, yakni kemajuan dalam bidang Internet Of Things (IoT) . Iot adalah sebuah konsep dimana suatu objek yang memiliki kemampuan untuk mentransfer data melalui jaringan tanpa memerlukan interaksi manusia ke manusia atau manusia ke komputer jadi ia dapat melakukan sendiri tanpa perintah manusia. IoT telah berkembang dari konvergensi teknologi nirkabel, micro-electromechanical systems (MEMS), dan Internet.
“Things” di Internet of Things dapat diartikan sebagai subjek misalnya orang dengan monitor implant jantung, hewan peternakan dengan transponder biochip, sebuah mobil yang telah dilengkapi built-in sensor untuk memperingatkan pengemudi ketika tekanan ban rendah, tren di Silicon Valley yaitu adanya smart fridges. Ketika kulkas kosong, ia dapat memesan barang sendiri ke amazon tanpa harus menyewa asisten rumah tangga.
Sejauh ini, IoT paling erat hubungannya dengan komunikasi machine-to-machine (M2M) di bidang manufaktur dan listrik, perminyakkan, dan gas. Produk dibangun dengan kemampuan komunikasi M2M yang sering disebut dengan sistem cerdas atau “smart”. Sebagai contoh yaitu smart kabel, smart meter, smart grid sensor.
Kondisi seperti ini adalah ibarat pedang bermata dua. Bisa menjadi ancaman yang akan membuat kita semakin terpuruk, atau bisa malah memajukan negara Indonesia. bagi kita bangsa Indonesia. Mengapa? Menurut Surya Chandra, anggota DPR Komisi IX, dalam Seminar masalah kependudukan di Indonesia di Fakultas Kedokteran UI mengatakan jumlah usia produktif (berkisar 15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen adalah penduduk berusia non produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun). Atau kondisi ini dikenal dengan istilah bonus demografi.
Dengan adanya Revolusi Industri 4.0 ini, tentu ini bisa menjadi ancaman nyata bagi negara kita. Namun, jika kita berhasil, ini juga bisa menjadi peluang emas agar negara kita menjadi jauh lebih maju. Menilik negara Jepang yang pada tahun 1950 an, mereka juga mendapatkan bonus demografi. Karena mereka pintar dalam mengolah SDM yang ada, membuat negara Jepang menjadi sangat maju dan dampaknya saat ini semua negara di dunia kenal dengan jepang karena kemajuan teknolohinya.
Kalau berbicara mengenai Revolusi Industri berrarti kita berbicara mengenai efisiensi. Contohnya adalah Eropa yang dahulu kekurangan tenaga kerja. Sehingga mereka mengakali kondisi tersebut dengan penggunaan teknologi. Namun, berbeda dengan Indonesia. Penggunaan teknologi secara masif bisa mengurangi tenaga kerja. Apa dampaknya? Pengangguran.
Apa yang harus kita persiapkan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 ini? SDM Indonesia untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 tentu harus segera mengintropeksi diri. Karena apa? Ketika kita tidak berbenah untuk menyiapkan hal ini, tentu kita akan ketinggalan dan tergerus oleh perubahan zaman.
Tapi di sini bukan hanya PR kita. Tapi ini adalah PR Pemerintah.
Dari sisi pemerintah harus lebih proaktif menggunakan anggarannya untuk ketenagakerjaan. Sebagai contoh, dari sabang sampai Merauke, tottal staff yang ditempatkan dalam Balai Latihan Kerja hanya 1200 orang. Coba bandingkan dengan negara Jerman, mereka memiliki 133.000 orang yang ditempatkan sebagai staff untuk Balai Latihan Kerja.
Lalu masalah kurikulum, bagaimana kurikulum sangat tidak berhubungan dengan kepentingan industri. Berbeda sekali karena ada jarak diantara keduanya. Bisa kita lihat sendiri penghuni BLK adalah lulusan SMK. Apa yang ada di SMK ini? Kenapa ada banyak sekali lulusan SMK di BLK? Padahal lulusan SMK seharusnya adalah orang-orang yang sudah dipersiapkan langsung dan bisa langsung terjun ke dunia perindustrian.
Kita bisa menengok negara Taiwan karena industrinya terkoneksi dengan sistem pendidikan yang ada. Begitu juga dengan negara-negara maju lainnya. Adanya koneksi antara dunia perindustria dengan sistem pendidikan yang ada. Sehingga kepentingan industri sangat didukung oleh kemajuan kurikulum.
Kalau kita melihat lulusan-lulusan Universitas di Indonesia bukan lulusan orang-orang yang siap kerja. tapi lulusan orang-orang yang siap dilatih lagi agar bisa compatible dengan pekerjaan mereka. Ini kan membuang uang bagi perusahaan yang melakukan pelatihan tersebut. Karena seharusnya pelatihan-pelatihan semacam itu sudah mereka dapatkan di level universitas.
Untuk bersaing di era Revolusi Industri 4.0 kita harus bisa memaksimalkan berbagai lini bekerja. Apa saja lini yang harus kita perhatikan? Ada pelaku bisnis, universitas, pemerintah, dan komunitas. Keempat lini ini harus saling terkait antar yang satu dengan yang lain untuk memaksimalkan potensi tenaga kerja yang ada.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Niagahoster sebagai penyedia layanan web hosting terbaik di Indonesia